Total Tayangan Halaman

Jumat, 24 Agustus 2012

Kisah Pemilik Kulao Bassi

HAJI BASO
Oleh KHRISNA PABICHARA


SUDAH lama saya tidak menghiraukan kehadiran kulau bassi, batu hitam bertuah peninggalan ayah. Bukan karena tidak menghargai warisan leluhur, tapi lantaran takut tuah kulau bassi itu dapat mengguncang iman saya. Betapa tidak, tuah batu berwarna hitam pekat seukuran biji jagung itu bisa menjadikan pemiliknya kebal terhadap segala jenis senjata. Dari besi tajam hingga timah peluru. Suatu saat, saya pernah mencobanya ketika menantang Raha—lelaki yang mencoba merayu kekasih saya—bertarung satu lawan satu di tanah lapang dekat kantor desa. Waktu itu, badik Raha hanya merobek baju yang saya kenakan, tapi tidak bisa melukai kulit saya meski hanya sebatas goresan. Sejak saat itu saya digelari I Kabbala’, lelaki yang kebal segala rupa senjata.
Kulau Bassi

Pada mulanya saya menolak ketika ayah hendak mewariskan kulau bassi itu. Bagi saya, cukuplah ilmu silat mancak Turatea sebagai bekal membela diri di tanah rantau. Tak perlu azimat sakti, apalagi benda yang berpeluang jadi berhala. Tapi cinta dan takzim pada sang ayah membuat saya tak punya pilihan lain, kecuali menerima warisan itu. Sejak itu pula kulau bassi, batu bertuah incaran banyak orang, sah menjadi milik saya. Bermula dari sana mental saya jadi temperamental. Disenggol sedikit langsung marah. Mudah panas dan gampang terbakar. Salah sedikit main gampar, salah banyak main tikam. Jelas saja saya jadi tidak nyaman. Sebagai perantau, saya tidak pernah berniat sedikit pun melukai orang lain, apalagi sampai meninggalkan luka codet atau parut di tubuh mereka. Maka, tak pernah kulau bassi itu menghuni salah satu ruang di dompet saya. Dan, saya juga tidak mencoba menanam batu hitam itu di daging paha, sebagaimana orang lain memperlakukan kulau bassi-nya.

Hingga suatu hari Baso, seorang saudara sepupu, bertandang ke rumah saya dan mengusik segala tuah batu hitam itu. Katanya, seseorang telah mempermalukan dirinya, mengalahkannya dalam sebuah duel yang tak seimbang, lima lawan satu. Saya, sebagai jawat kerabat sekampung, diminta membela kehormatannya. Tidak perlu ikut berkelahi, katanya, cukup dengan meminjamkan kulau bassi itu, barang sehari atau dua hari. Saya, tentu saja, memanfaatkan peluang itu untuk meloloskan diri dari sekap batu hitam sebiji jagung itu. Walhasil, warisan leluhur itu telah menemukan tuan yang baru, Baso, sepupu sepermainan di masa kecil.

Dari sana bermula segala celaka.


SAYA memang mudah percaya, apalagi pada kerabat sendiri. Saya kira Baso akan meminjam kulau bassi itu dalam jangka satu-dua hari saja. Ternyata tidak. Satu-dua bulan telah berlalu, ia belum juga menampakkan batang hidungnya untuk mengembalikan batu bertuah itu. Lalu tersiar kabar, kini ia telah menjadi penguasa Pulogadung. Jagoan demi jagoan tumbang di tangannya. Satu demi satu wilayah ditaklukkannya. Ia telah menjadi jawara tanpa lawan setara. Bersabung dari satu arena ke medan tarung lainnya. Rumah gubuknya telah menjadi istana. Motor bututnya telah berganti mobil mewah. Takdir telah mengubah nasibnya menjadi kaya raya.

Tapi kulau bassi itu belum juga dikembalikan olehnya. Padahal sudah dua tahun berlalu semenjak ia meminjamnya.


HINGGA suatu ketika kabar gembira datang dari kampung halaman. Baso, yang semasa merantau hanya berbekal pakaian yang melekat di badannya,telah menjadi “pahlawan” yang dielu-elukan setiap hari di tanah kelahiran. Langgar yang nyaris rubuh di Kappoka jadi mentereng karena uang kirimannya. Masigik tua di Borongtammatea makin megah karena sumbangannya. Banyak anak asuh bergantung padanya.

Sungguh kabar itu menggembirakan, sekaligus memilukan bagi saya. Kabar itu sangat menggembirakan sebab Baso jadi simbol sukses kaum perantau. Tapi memilukan bagi saya karena semua orang menyandingkan kesuksesan Baso dengan kemiskinan saya—simbol perantau yang dicap gagal di negeri orang. Namanya juga pengarang. Jangankan untuk menyumbang ini-itu ke kampung, bertahan hidup saja susahnya minta ampun.


KEMUDIAN, Haji Tutu—ayah Baso yang juga adik ayah saya—berkunjung sendirian ke rumah saya dengan berbekal kopor besar seolah bakal menginap lama. Tentu saja saya terperangah. Bukan karena tak siap kedatangan tamu, namun karena sungkan jika Haji Tutu yang—konon mulai—terbiasa hidup mewah itu harus bermukim lama di rumah saya yang sederhana.

“Jangan malu, Nak,” kata Haji Tutu seakan mampu membaca pikiran saya. “Saya tak mungkin menginap di rumah Baso, sepupu bejatmu itu,” katanya lagi dengan sorot mata tuanya.

Saya tersentak. “Ada apa, Hajji?”

Haji Tutu menghela napas. Seolah semua beban lepas ketika napas itu diembuskan olehnya. Lalu, ia menatap mata saya begitu lekat. “Baso lupa diri, Nak. Harta ditumpuknya dengan cara yang tak halal. Kata orang, ia sekarang jadi raja copet di Pulogadung. Setiap hari ia tampung perantau dari kampung, lalu ia didik menjadi pencopet tangguh. Kau bayangkan bagaimana sikap orang di kampung pada pamanmu ini. Tak ada lagi murid yang datang ke rumah paman untuk belajar mengaji. Paman tak pernah lagi mendapat panggilan barzanji atau akrate’. Semua karena Baso, Nak.”

Haji Tutu terduduk lemas di kursi. Selama ini ia menjalani masa pensiun dengan tenang. Semula keluarganya hidup sangat sederhana hingga Baso tampil sebagai penolong. Wajarlah kiranya jika Haji Tutu kaget ketika menyadari bahwa kemakmuran keluarganya ternyata disokong oleh seorang raja copet. Bayangkan betapa terhinanya seorang guru ngaji, yang kegembiraan terbesar baginya ketika menerima banyak murid, lalu ditinggal sendirian dalam riuh sunyi. Apakah yang sekarang dirasakannya? Pastilah sebuah kengerian yang luar biasa sampai ia tak sanggup lagi bertahan di kampung—dengan masyarakat tradisi yang teguh dan kukuh memelihara norma-norma adat.

Saya mendongak ketika melihat Haji Tutu masih saja terduduk di kursi. Tak pernah sebelumnya ia bersikap begitu. Di dunia ini, tak ada lelaki yang lebih kukuh memelihara nilai-nilai kearifan lokal melebihi pamannya itu. Kepada tiap orang ia selalu bertutur ramah. Kepada tiap murid ia selalu berlembut sapa. Jika ada panggilan membaca kitta pattumateang—kitab berbahasa Makassar yang kerap dibaca ketika ada orang meninggal—ia tak pernah membeda-bedakan. Bahkan jika tak mendapat imbalan pun matanya tetap bercahaya.

“Apa yang hendak paman lakukan?”

“Saya sudah menasihati Baso, Nak, tapi paman tidak digubris. Bagaimana pun ia harus tobat,” kata Haji Tutu.

Saya mengangguk. “Naik haji?”

“Ya,” jawab Haji Tutu. “Jika Baso naik haji, lalu meninggalkan kebiasaan buruknya, ia pasti bisa diterima kembali di tengah masyarakat. Dan hanya kamu yang bisa menegurnya, Nak. Hanya kamu...”


SEBENARNYA tidak terlintas dalam benak saya untuk menemui Baso. Kulau bassi itu penyebabnya. Entah mengapa saya belum bisa menerima sikap Baso yang tak jujur dan gemar ingkar janji. Namun amanat Haji Tutu tak mungkin saya abaikan. Lalu, kami pun bertemu di kedai Coto Makassar Daeng Tata di bilangan Tebet. Tadinya saya pikir ada bagusnya menyampaikan kedatangan ayahnya ke Jakarta. Tapi saya tak mampu mengucapkannya. Kami hanya melantur kanan-kiri, sambil menyeruput es pisang ijo dan melahap dua mangkok coto makassar, layaknya dua sahabat yang lama tak bertemu. Hingga tiba masa saya bertanya kapan ia berniat memuliakan keluarga dengan berhenti dari profesi copetnya, profesi yang telah menguarkan aib keluarga.

“Kamu bisa minta apa saja, cikali,” katanya dengan tegas, “tapi jangan minta kulau bassi itu. Saya terlanjur jatuh hati. Lagi pula kamu tak pernah menggunakannya.” Ia mengedikkan bahu, kemudian berkata, “Kalau cuma naik haji, tenang saja, saya mampu melakukannya berkali-kali.”

“Bukan sekadar naik haji, tapi berhenti nyopet demi nama baik keluarga.”

“Mengapa harus sibuk menjaga nama baik keluarga, tapi hidup melarat dan tidak bisa berguna bagi keluarga?” cecar Baso. “Saya tidak punya keahlian apapun selain nyopet. Meskipun tamatan Aliyah, saya tak sanggup jadi guru honor di madrasah dengan gaji seratus limapuluh ribu sebulan. Tak mungkin juga melamar jadi office boy yang upahnya hanya cukup buat bayar kontrakan. Jika dengan naik haji saya bisa memutihkan nama keluarga, akan saya lakukan. Besok saya daftar, lalu pulang kampung buat manasik haji, dan mengundang orang-orang munafik di kampung yang mencibir dan membuang muka, tapi menerima setiap pemberian atau kiriman saya.”

Saya terdiam. Bagaimana menyampaikan semua ini pada ayahnya?


BEGITULAH kisahnya. Baso naik haji. Lima bulan lamanya ia dan keluarga malang-melintang di kampung. Seperti biasa ia royal, suka memberi kanan-kiri. Orang-orang kembali memujanya sebagai Haji Baso yang Baik Hati. Lalu ia kembali ke Jakarta. Alasannya sederhana, istri dan anaknya tidak betah berlama-lama hidup di kampung sunyi. Mereka lebih akrab dengan riuh kota.

Ia bawakan oleh-oleh berupa dendeng daging kuda kegemaran saya. Tapi ia belum juga mengembalikan kulau bassi itu.


SAYA pikir semua masalah sudah teratasi. Baso sudah naik haji. Ayahnya sudah mengajar kanak mengeja lontarak—aksara Makassar yang mulai terlupakan. Dan orang kampung melupakan masa lalu Haji Baso. Ternyata, belum. Ada masalah baru tiba-tiba menghantui saya. Haji Baso belum tobat. Ia kembali menggeluti profesi lamanya—copet. Ia buron, dikejar-kejar polisi. Ia kabur bersama kulau bassi milik saya. Kemarin ia kedapatan sedang menyiksa anak buahnya hingga nyaris sekarat meregang nyawa. Lima butir timah panas yang dilontarkan polisi singgah di dadanya, tapi tak satu pun yang mampu menembus kulitnya. Peluru-peluru itu rontok seperti daun kering luruh ke tanah. Polisi-polisi yang mengepungnya menganga dan terperangah. Haji Baso buron lagi. Orang-orang ramai membicarakan kekebalannya. Kabarnya gencar memenuhi layar televisi. Koran-koran pun berlomba memuat fotonya.

Akibatnya fatal, Haji Tutu terkena serangan jantung. Sesaat sebelum ia mengembuskan napas terakhir, paman yang rendah hati itu menyebut nama saya. Dan kulau bassi itu. Bagaimana saya jelaskan kepada semua kerabat mengapa warisan itu bisa pindah ke tangan Baso?

Dan, Haji Tutu kembali bertamu. Kali ini menyambangi saya dalam mimpi.

Catatan: Cerpen ini dimuat di Republika, edisi Ahad (22/11/2009)

sumber: http://dusunkata.blogspot.com/2009/12/cerpen-haji-baso.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Leave Your Comment