Total Tayangan Halaman

Sabtu, 25 Agustus 2012

Tradisi Bugis-Makassar Mencari Kesaktian

Dalam tradisi Sulawesi Selatan (khususnya Bugis – Makassar) banyak cara untuk mendapatkan kesaktian atau kedigdayaan, antara lain :

1. Dengan Memakai Benda Mustika (istilah di Sulsel : KULAU) contohnya :
    a. Kulau Bassi (badar besi – untuk kekebalan)
    b. Munta Bassi (badar besi kw-II)
    c. Gigi Guntur (batu petir – untuk kekebalan)
    d. Bulu Karisa (bamboo buta – untuk kekebalan/wibawa/asihan)
    e. Tanduk Kucing putih/hitam (lolos dari sergapan musuh walau sebesar lubang
        jarum)
     f. Kulau Air (pengobatan luka – kebal)
     g. Kulau Kaluku (mustika kelapa – untuk usaha)
     h. Tanduk Rusa dengan bilangan ganjil (keselamatan)
      i. Badik Minawang (badik terapung – untuk kekebalan & wibawa)
      j. Rantai Babi (kekebalan)
      k. Besi Kuning (kekebalan)


         
Kulau Bassi
Rantai Babi

Tanduk Kucing










2. Jimat, misalnya Naga Sikoi (untuk wibawa – pengasihan)

3. Dengan Do’a atau bacaan

4. Pagau’kang (sara’) dengan menyentuh beberapa anggota tubuh baik dengan bacaan ataupun tanpa bacaan maka orang tersebut telah memiliki kekebalan / wibawa / asihan. Dan menurut orang tua dulu (bugis makassar) pagaukan adalah ilmu tingkat tinggi yang pilih tanding (merah delima, rantai babi, besi kuning dll semua ada dalam diri manusia dan jika kita sentuh maka disertai niat maka kekuatannyakan muncul)

5. Mencari guru atau orang tua yang mau memberikan ilmunya kepada orang lain memang sangat sulit di daerah Sulsel, karena pada umumnya mereka kuatir jika ilmu yang diberikan disalah gunakan akan menjadi beban moril, jadi pada umumnya transfer ilmu di kalangan orang sulsel terjadi karena geraka hati guru secara spontan dan tanpa MAHAR.

Saya memberitahukan perkara ini bukan dengan maksud agar anda mencari, mengamalkan atau menggunakan jimat ini, namun sekedar berbagi ilmu mengenai tradisi khusus bugis-makassar dalam mencari kesaktian untuk kemudian dijauhi dan didakwahkan kepada saudara kita yang lain agar tidak terjerumus dalam dosa ini.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya jampi-jampi, jimat-jimat, dan guna-guna adalah syirik” (HR. Abu Dawud, shahih). Dalam hadits ini secara tegas Rasul  menyebut jimat dengan kemusyrikan. Dalam hadits lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang menggantungkan jimat maka sungguh dia telah berbuat  kemusyrikan” (HR. Ahmad, shahih).

Dalil dari Al-Qur’an adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya): “Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka menjawab: “Allah.” Katakanlah: “Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmatNya?. Katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku.” Kepada- Nyalah bertawakkal orang-orang yang berserah diri.” (QS. Az-Zumar : 38).

Menjadi keyakinan seorang muslim bahwasanya tidak ada yang bisa mendatangkan atau mencegah kemudharatan melainkan Allah SWT. 
"Jika Allah menimpakan suatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu"(Q.S al-An’aam:17)

"Atau patutkah mereka mengambil pelindung-pelindung selain Allah? Maka Allah, Dialah pelindung (yang sebenarnya) dan Dia menghidupkan orang- orang yang mati, dan Dia adalah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. Asy Syuura:9)"

Sesungguhnya mengambil pelindung selain Allah sungguh suatu kesalahan besar
"Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui."(QS.Al 'Ankabuut:41)


Untuk saudara-saudaraku bugis-makassar yang menjunjung tinggi rasa SIRI' (malu) mari meninggalkan kebudayaan atau tradisi kita yang mengandung unsur kesyirikan karena tiada rasa Siri' (malu ) yang lebih tinggi melainkan malu kepada Allah Azza Wa Jalla karena mengambil pelindung selain perlindunganNya

Jika ada diantara kalian yang memiliki dan menyimpan atau bahkan menggunakan benda-benda di atas seperti kulau bassi maka segera dihancurkan karena Allah SWT dengan cara ruqyah agar tidak ada lagi yang bisa memilikinya dan generasi kita kedepan terhindar dari dosa-dosa tersebut

Wallahu a'lam




Jumat, 24 Agustus 2012

Kisah Pemilik Kulao Bassi

HAJI BASO
Oleh KHRISNA PABICHARA


SUDAH lama saya tidak menghiraukan kehadiran kulau bassi, batu hitam bertuah peninggalan ayah. Bukan karena tidak menghargai warisan leluhur, tapi lantaran takut tuah kulau bassi itu dapat mengguncang iman saya. Betapa tidak, tuah batu berwarna hitam pekat seukuran biji jagung itu bisa menjadikan pemiliknya kebal terhadap segala jenis senjata. Dari besi tajam hingga timah peluru. Suatu saat, saya pernah mencobanya ketika menantang Raha—lelaki yang mencoba merayu kekasih saya—bertarung satu lawan satu di tanah lapang dekat kantor desa. Waktu itu, badik Raha hanya merobek baju yang saya kenakan, tapi tidak bisa melukai kulit saya meski hanya sebatas goresan. Sejak saat itu saya digelari I Kabbala’, lelaki yang kebal segala rupa senjata.
Kulau Bassi

Pada mulanya saya menolak ketika ayah hendak mewariskan kulau bassi itu. Bagi saya, cukuplah ilmu silat mancak Turatea sebagai bekal membela diri di tanah rantau. Tak perlu azimat sakti, apalagi benda yang berpeluang jadi berhala. Tapi cinta dan takzim pada sang ayah membuat saya tak punya pilihan lain, kecuali menerima warisan itu. Sejak itu pula kulau bassi, batu bertuah incaran banyak orang, sah menjadi milik saya. Bermula dari sana mental saya jadi temperamental. Disenggol sedikit langsung marah. Mudah panas dan gampang terbakar. Salah sedikit main gampar, salah banyak main tikam. Jelas saja saya jadi tidak nyaman. Sebagai perantau, saya tidak pernah berniat sedikit pun melukai orang lain, apalagi sampai meninggalkan luka codet atau parut di tubuh mereka. Maka, tak pernah kulau bassi itu menghuni salah satu ruang di dompet saya. Dan, saya juga tidak mencoba menanam batu hitam itu di daging paha, sebagaimana orang lain memperlakukan kulau bassi-nya.

Hingga suatu hari Baso, seorang saudara sepupu, bertandang ke rumah saya dan mengusik segala tuah batu hitam itu. Katanya, seseorang telah mempermalukan dirinya, mengalahkannya dalam sebuah duel yang tak seimbang, lima lawan satu. Saya, sebagai jawat kerabat sekampung, diminta membela kehormatannya. Tidak perlu ikut berkelahi, katanya, cukup dengan meminjamkan kulau bassi itu, barang sehari atau dua hari. Saya, tentu saja, memanfaatkan peluang itu untuk meloloskan diri dari sekap batu hitam sebiji jagung itu. Walhasil, warisan leluhur itu telah menemukan tuan yang baru, Baso, sepupu sepermainan di masa kecil.

Dari sana bermula segala celaka.


SAYA memang mudah percaya, apalagi pada kerabat sendiri. Saya kira Baso akan meminjam kulau bassi itu dalam jangka satu-dua hari saja. Ternyata tidak. Satu-dua bulan telah berlalu, ia belum juga menampakkan batang hidungnya untuk mengembalikan batu bertuah itu. Lalu tersiar kabar, kini ia telah menjadi penguasa Pulogadung. Jagoan demi jagoan tumbang di tangannya. Satu demi satu wilayah ditaklukkannya. Ia telah menjadi jawara tanpa lawan setara. Bersabung dari satu arena ke medan tarung lainnya. Rumah gubuknya telah menjadi istana. Motor bututnya telah berganti mobil mewah. Takdir telah mengubah nasibnya menjadi kaya raya.

Tapi kulau bassi itu belum juga dikembalikan olehnya. Padahal sudah dua tahun berlalu semenjak ia meminjamnya.


HINGGA suatu ketika kabar gembira datang dari kampung halaman. Baso, yang semasa merantau hanya berbekal pakaian yang melekat di badannya,telah menjadi “pahlawan” yang dielu-elukan setiap hari di tanah kelahiran. Langgar yang nyaris rubuh di Kappoka jadi mentereng karena uang kirimannya. Masigik tua di Borongtammatea makin megah karena sumbangannya. Banyak anak asuh bergantung padanya.

Sungguh kabar itu menggembirakan, sekaligus memilukan bagi saya. Kabar itu sangat menggembirakan sebab Baso jadi simbol sukses kaum perantau. Tapi memilukan bagi saya karena semua orang menyandingkan kesuksesan Baso dengan kemiskinan saya—simbol perantau yang dicap gagal di negeri orang. Namanya juga pengarang. Jangankan untuk menyumbang ini-itu ke kampung, bertahan hidup saja susahnya minta ampun.


KEMUDIAN, Haji Tutu—ayah Baso yang juga adik ayah saya—berkunjung sendirian ke rumah saya dengan berbekal kopor besar seolah bakal menginap lama. Tentu saja saya terperangah. Bukan karena tak siap kedatangan tamu, namun karena sungkan jika Haji Tutu yang—konon mulai—terbiasa hidup mewah itu harus bermukim lama di rumah saya yang sederhana.

“Jangan malu, Nak,” kata Haji Tutu seakan mampu membaca pikiran saya. “Saya tak mungkin menginap di rumah Baso, sepupu bejatmu itu,” katanya lagi dengan sorot mata tuanya.

Saya tersentak. “Ada apa, Hajji?”

Haji Tutu menghela napas. Seolah semua beban lepas ketika napas itu diembuskan olehnya. Lalu, ia menatap mata saya begitu lekat. “Baso lupa diri, Nak. Harta ditumpuknya dengan cara yang tak halal. Kata orang, ia sekarang jadi raja copet di Pulogadung. Setiap hari ia tampung perantau dari kampung, lalu ia didik menjadi pencopet tangguh. Kau bayangkan bagaimana sikap orang di kampung pada pamanmu ini. Tak ada lagi murid yang datang ke rumah paman untuk belajar mengaji. Paman tak pernah lagi mendapat panggilan barzanji atau akrate’. Semua karena Baso, Nak.”

Haji Tutu terduduk lemas di kursi. Selama ini ia menjalani masa pensiun dengan tenang. Semula keluarganya hidup sangat sederhana hingga Baso tampil sebagai penolong. Wajarlah kiranya jika Haji Tutu kaget ketika menyadari bahwa kemakmuran keluarganya ternyata disokong oleh seorang raja copet. Bayangkan betapa terhinanya seorang guru ngaji, yang kegembiraan terbesar baginya ketika menerima banyak murid, lalu ditinggal sendirian dalam riuh sunyi. Apakah yang sekarang dirasakannya? Pastilah sebuah kengerian yang luar biasa sampai ia tak sanggup lagi bertahan di kampung—dengan masyarakat tradisi yang teguh dan kukuh memelihara norma-norma adat.

Saya mendongak ketika melihat Haji Tutu masih saja terduduk di kursi. Tak pernah sebelumnya ia bersikap begitu. Di dunia ini, tak ada lelaki yang lebih kukuh memelihara nilai-nilai kearifan lokal melebihi pamannya itu. Kepada tiap orang ia selalu bertutur ramah. Kepada tiap murid ia selalu berlembut sapa. Jika ada panggilan membaca kitta pattumateang—kitab berbahasa Makassar yang kerap dibaca ketika ada orang meninggal—ia tak pernah membeda-bedakan. Bahkan jika tak mendapat imbalan pun matanya tetap bercahaya.

“Apa yang hendak paman lakukan?”

“Saya sudah menasihati Baso, Nak, tapi paman tidak digubris. Bagaimana pun ia harus tobat,” kata Haji Tutu.

Saya mengangguk. “Naik haji?”

“Ya,” jawab Haji Tutu. “Jika Baso naik haji, lalu meninggalkan kebiasaan buruknya, ia pasti bisa diterima kembali di tengah masyarakat. Dan hanya kamu yang bisa menegurnya, Nak. Hanya kamu...”


SEBENARNYA tidak terlintas dalam benak saya untuk menemui Baso. Kulau bassi itu penyebabnya. Entah mengapa saya belum bisa menerima sikap Baso yang tak jujur dan gemar ingkar janji. Namun amanat Haji Tutu tak mungkin saya abaikan. Lalu, kami pun bertemu di kedai Coto Makassar Daeng Tata di bilangan Tebet. Tadinya saya pikir ada bagusnya menyampaikan kedatangan ayahnya ke Jakarta. Tapi saya tak mampu mengucapkannya. Kami hanya melantur kanan-kiri, sambil menyeruput es pisang ijo dan melahap dua mangkok coto makassar, layaknya dua sahabat yang lama tak bertemu. Hingga tiba masa saya bertanya kapan ia berniat memuliakan keluarga dengan berhenti dari profesi copetnya, profesi yang telah menguarkan aib keluarga.

“Kamu bisa minta apa saja, cikali,” katanya dengan tegas, “tapi jangan minta kulau bassi itu. Saya terlanjur jatuh hati. Lagi pula kamu tak pernah menggunakannya.” Ia mengedikkan bahu, kemudian berkata, “Kalau cuma naik haji, tenang saja, saya mampu melakukannya berkali-kali.”

“Bukan sekadar naik haji, tapi berhenti nyopet demi nama baik keluarga.”

“Mengapa harus sibuk menjaga nama baik keluarga, tapi hidup melarat dan tidak bisa berguna bagi keluarga?” cecar Baso. “Saya tidak punya keahlian apapun selain nyopet. Meskipun tamatan Aliyah, saya tak sanggup jadi guru honor di madrasah dengan gaji seratus limapuluh ribu sebulan. Tak mungkin juga melamar jadi office boy yang upahnya hanya cukup buat bayar kontrakan. Jika dengan naik haji saya bisa memutihkan nama keluarga, akan saya lakukan. Besok saya daftar, lalu pulang kampung buat manasik haji, dan mengundang orang-orang munafik di kampung yang mencibir dan membuang muka, tapi menerima setiap pemberian atau kiriman saya.”

Saya terdiam. Bagaimana menyampaikan semua ini pada ayahnya?


BEGITULAH kisahnya. Baso naik haji. Lima bulan lamanya ia dan keluarga malang-melintang di kampung. Seperti biasa ia royal, suka memberi kanan-kiri. Orang-orang kembali memujanya sebagai Haji Baso yang Baik Hati. Lalu ia kembali ke Jakarta. Alasannya sederhana, istri dan anaknya tidak betah berlama-lama hidup di kampung sunyi. Mereka lebih akrab dengan riuh kota.

Ia bawakan oleh-oleh berupa dendeng daging kuda kegemaran saya. Tapi ia belum juga mengembalikan kulau bassi itu.


SAYA pikir semua masalah sudah teratasi. Baso sudah naik haji. Ayahnya sudah mengajar kanak mengeja lontarak—aksara Makassar yang mulai terlupakan. Dan orang kampung melupakan masa lalu Haji Baso. Ternyata, belum. Ada masalah baru tiba-tiba menghantui saya. Haji Baso belum tobat. Ia kembali menggeluti profesi lamanya—copet. Ia buron, dikejar-kejar polisi. Ia kabur bersama kulau bassi milik saya. Kemarin ia kedapatan sedang menyiksa anak buahnya hingga nyaris sekarat meregang nyawa. Lima butir timah panas yang dilontarkan polisi singgah di dadanya, tapi tak satu pun yang mampu menembus kulitnya. Peluru-peluru itu rontok seperti daun kering luruh ke tanah. Polisi-polisi yang mengepungnya menganga dan terperangah. Haji Baso buron lagi. Orang-orang ramai membicarakan kekebalannya. Kabarnya gencar memenuhi layar televisi. Koran-koran pun berlomba memuat fotonya.

Akibatnya fatal, Haji Tutu terkena serangan jantung. Sesaat sebelum ia mengembuskan napas terakhir, paman yang rendah hati itu menyebut nama saya. Dan kulau bassi itu. Bagaimana saya jelaskan kepada semua kerabat mengapa warisan itu bisa pindah ke tangan Baso?

Dan, Haji Tutu kembali bertamu. Kali ini menyambangi saya dalam mimpi.

Catatan: Cerpen ini dimuat di Republika, edisi Ahad (22/11/2009)

sumber: http://dusunkata.blogspot.com/2009/12/cerpen-haji-baso.html

TEKHNIK PENDAYAGUNAAN ENERGI RUQYAH: TEHNIK SISIR API

TEKHNIK PENDAYAGUNAAN ENERGI RUQYAH: TEHNIK SISIR API

Senin, 20 Agustus 2012

10 Alasan Jin Membantu Manusia (diketahui untuk dijauhi dan didakwahkan)

Ruqyah syar'iyah untuk terapi serangan sihir ini menuntut kita agar kita selalu berpijak kepada dasar-dasar iman yang bersih dari noda syirik yang nyata ataupun yang terselubung. Kitapun juga harus berpegang kepada dua pegangan yang tidak akan membuat kita sengsara ataupun tersesat yaitu "Al Qur'an Al Karim dan As Sunnah Al Muthahharah." Kemudian kita berusaha melakukan pengamanan diri dengan menjaga pelaksanaan perintah-perintah syariat dan menjauhi larangan-Nya. Karena pengamanan yang benar-benar aman adalah ketika kita jauh dari dosa dan maksiat.

Maka terapi dengan ruqyah yang sesuai dengan syariat akan memperkuat iman kita kepada yang ghaib secara proporsional, karena kita mengimani bahwa Allah telah menciptakan makhluk yang ghaib berupa jin yang memiliki sifat dan karakter seperti manusia.

Jin-jin pembangkang telah dimanfaatkan oleh tulang sihir untuk menyerang manusia yang lemah ini. Akan tetapi ketika kita berlindung kepada Allah dengan sungguh-sungguh, maka Allah akan melindungi kita dari tipu daya dan serangan jin-jin pembangkang itu.


Sihir pada hakikatnya hanyalah persekongkolan dan kerjasama antara syaitan manusia dan syaitan jin untuk menjerumuskan manusia kedalam kesesatan dan kesengsaraan yang tiada tepi kecuali dengan kembali ke jalan Allah.

Ilmu sihir di sepanjang masa, akan selalu diajarkan oleh auliya iblis. Karena kekuatan sihir dimanfaatkan oleh iblis untuk mengajak manusia kedalam dosa besar, kufur, syirik, dan murtad. Allah berfirman dalam Surah Al Baqarah : 102 yang artinya : "Akan tetapi syaitan-syaitan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka selalu mengerjakan sihir kepada manusia."

Proses mendapatkan ilmu sihir tidak pernah lepas dari dosa besar, kurafat dan syirik, atau minimal ibadah bid'ah dalam ibadah. Sebagaimana pengakuan dari saudara-saudara kita yang bertaubat dari ilmu sihir yang pernah mereka pelajari tanpa mereka sadari bahwa hal itu sebagai sihir yang hukumnya jelas haram dalam syariat. Dan diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Karena manusia mencoba mantra-mantra syirik untuk mengundang syaitan sambil tahan nafas, meskipun mantra terkadang hanya berupa simbol-simbol yang dibayangkan.

2. Karena manusia melakukan ritual yang pemujaan atau pengabdian kepada syaitan dengan gerakan-gerakan dan cara-cara khusus.

3. Karena manusia melakukan bid'ah dalam ibadah, amalan, dan dzikir. Serta dibubuhi keyakinan terhadap kurafat. Misalnya mengirimkan bacaan Al Fatihah untuk menghadirkan arwah orang yang dikirimi dan dimintai bantuannya.

4. Karena manusia melakukan sesaji untuk menghadirkan syaitan, kemudian memohon kepada syaitan untuk melakukan sesuatu. Melakukan sesaji disertai dengan berdoa kepada Allah, tetap efektif untuk mengundang syaitan. Dan memohon bantuannya.

5. Karena manusia melakukan Semedi atau i'tikaf dikuburan, gua, gunung, tempat keramat, dll. Sehingga ia punya kekuatan syaitan.

6. Karena menerima azimat, raja', benda yang dikeramatkan dari dukun dengan meyakini khasiatnya saat menggunakan benda tersebut meskipun dengan menyimpannya, mengikatnya di badan, atau minum air rendamannya.

7. Karena seseorang sebagai keturunan tulang sihir yang meninggal sebelum bertaubat, sehingga syaitan berusaha untuk mewariskan ilmu sihirnya kepada anak keturunannya tanpa belajar sihir lagi.

8. Karena datang ke dukun kemudian mengikuti nasehat dukun untuk melakukan sesuatu dengan penuh keyakinan. Misalnya diperintah untuk berendam di telaga tertentu dengan telanjang atau yang lainnya. Maka semakin tinggi ketaatannya kepada dukun, semakin tinggi ilmu sihirnya.

9. Karena manusia belajar tenaga dalam untuk tujuan beladiri, penyerangan jarak jauh, mencari kesaktian, kekebalan tubuh, dll. Biasanya dengan dibantu oleh gurunya untuk dibukakan pintu syaitan dalam dirinya kemudian syaitan dipersilahkan masuk dan menetap didalam tubuh untuk dimintai pertolongan. Cara seperti inilah yang paling banyak diikuti oleh kaum muslimin. Karena kekuatan yang didapatkan dianggapnya hasil olah nafas. Padahal tanpa latihan pernafasan, kekuatan syaitan bisa langsung dimasukkan bagi yang mau.

10. Karena seseorang minum air yang sudah dibacakan mantra oleh dukun, menelan sesuatu yang sudah diisi kekuatan syaitan, atau dipasang susuk didalam tubuhnya.
Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan. (QS.Al-Jin:6)

Oleh : Al Ustadz Fadhlan Abu Yasir, Lc
Pengasuh Pon. Pes. Islam Terpadu Al Hikmah
Karanggede Boyolali Jawa Tengah.

Jumat, 10 Agustus 2012

Doa menerima Zakat


Doa Pemilik Zakat saat menyerahkan zakatnya:
“Allahummaj’alhaa maghnaman walaa taj’alhaa maghraman.” (Ya Allah, jadikanlah zakat ini bermanfaat bagiku dan janganlah engkau menjadikannya sebagai kerugian)

Mereka berdalil dengan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah rahimahullah. Namun, hadits ini dihukumi sebagai HADITS PALSU oleh al-Albani dalam Dha’if Sunan Ibni Majah no. 1797 dan Irwa’ al-Ghalil no. 852, karena sumber periwayatannya adalah al-Bakhtari bin ‘Ubaid yang tertuduh pendusta. Wallahu a’lam.

Niat mengeluarkan zakat:
NAWAITU AN-UKHRIJA ZAKAATAL FITHRI ‘ANNAFSII FARDHAN LILLAHI TA’AALAA ("Saya berniat mengeluarkan zakat fitrah atas diri saya sendiri, Fardhu karena Allah Ta’ala")

satu hal yang perlu diketahui bahwa perkara niat adalah urusan hati sehingga ia tidak boleh dilafadzkan dengan lisan. Bahkan termasuk perbuatan BID'AH bila niat itu dilafadzkan, sehingga Niat itu termasuk bagian dari iman karena niat termasuk amalan hati dan Amal tergantung dari niat, meliputi sah tidaknya, sempurna atau kurangnya, taat atau maksiat.  
Melafadzkan Niat Puasa, Hal ini adalah perbuatan bid’ah, yang kebanyakan masyarakat kita melafadzkan niat: “Nawaitu shauma ghadin, dst…” Niat yang benar ketika akan puasa ramadhan yaitu meniatkan pada malam sebelumnya tanpa dilafadzkan, karena niat itu tempatnya di hati, bukan di bibir.

imam Ibnu Abil Izz Al-Hanafi rahimahullah: “Tak seorangpun dari imam yang empat, baik Imam Syafi’i rahimahullah maupun lainnya yang mensyaratkan harus melafadzkan niat, karena niat itu di dalam hati dengan kesepakatan mereka.”[Kitab Al-Ittiba’: 62]

Inilah yang SHOHIH

Pihak imam (penguasa), petugas pemerintah yang memungut zakat atau pihak penerima zakat, disunnahkan untuk mendoakan pemilik zakat yang memberinya dengan membaca:
“Allahumma shalli ‘alaih.” (Ya Allah, bershalawatlah atasnya).

Dalil doa yang pertama adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Hendaklah engkau (wahai Muhammad) mengambil zakat dari harta-harta mereka yang dengannya engkau membersihkan mereka dari dosa dan memperbaiki keadaan mereka, serta bershalawatlah untuk mereka.” (At-Taubah: 10d)
Demikian pula hadits Ibnu Abi Aufa radhiyallahu ‘anhu: Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam jika didatangi oleh suatu kaum yang menyerahkan zakat mereka, beliau berkata, “Ya Allah, bershalawatlah atas mereka.” Datanglah ayahku menyerahkan zakatnya, beliau pun berkata, “Ya Allah, bershalawatlah atas keluarga Abu Aufa.” (HR. Al-Bukhari no. 1497 dan Muslim no. 1078)

Atau membaca:
“Allahumma baarik fiihi wa fii maalihi.” (Ya Allah, berkahilah dia dan hartanya)

Dalil doa yang kedua adalah hadits Wa’il bin Hujr radhiyallahu ‘anhu, disebutkan di dalamnya bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakan seorang lelaki yang datang menyerahkan zakat untanya:
“Ya Allah, berkahilah dia dan hartanya.” (HR. An-Nasa’i, dishahihkan sanadnya oleh al-Albani dalam Shahih Sunan an-Nasa’i no. 2458)
Tatkala ayat dan hadits menunjukkan disunnahkannya hal itu bagi imam (penguasa) dan petugasnya, menjadi sunnah pula bagi pihak penerima zakat yang menerimanya langsung dari pemilik zakat, sebab imam (penguasa) dan petugasnya merupakan wakil pihak penerima zakat. Jadi, hukumnya sunnah, bukan wajib!

Wallahu a’lam.

Rabu, 08 Agustus 2012

Kritis Terhadap Pendapat Cendekiawan Islam


Sebagai ilmuwan, mereka tidak punya pedang, tombak dan bedil. Sehingga mereka tidak seperti agresor Israel yang datang untuk menjajah dan merampas negeri Islam. Senjata perang mereka adalah mulut dan pena mereka. Tapi justru jauh lebih berbahaya dan dahsyat dampaknya.
Yang lebih merepotkan, para orientalis itu sekarang sudah punya kader yang jumlahnya puluhan ribu. Kader-kader itu beragama Islam, berkulit coklat dan berbahasa Indonesia. Mereka adalah para jebolan dari berbagai perguruan tinggi di Eropa, Amerika dan Australia yang diberi guyuran bea siswa.
Mereka berangkat ke negeri-negeri kafir itu untuk mengaji dan belajar agama Islam kepada dedengkot yahudi aliran hitam yang menjadi guru besar dan profesor mereka.
Dan ketika pulang, diberi gelar yang memberhala sebagai “CENDEKIAWAN ISLAM”.

Berikut Pernyataan “Nyeleneh” beberapa Cendekiawan Islam:
1. Prof. Quraish Shihab mengatakan bahwa penarikan batasan aurat wanita pada masa yang lalu itu sesuai dengan konteks zaman tersebut dan tidak menjadi Relafan untuk di zaman sekarang.
Jawab: 
Ada hal yang perlu kita pahami, bahwa sesungguhnya Dr. Quraish Shihab itu bukan anti jilbab. Sebenarnya beliau sangat mendukung penggunaan jilbab, bahkan menurut pengakuan beliau, ke luarganya pun tetap dianjurkannya untuk berjilbab.
Bahkan, dalam buku Wawasan Al-Quran, Quraish Shihab sendiri sudah mengungkapkan, bahwa para ulama besar, seperti Said bin Jubair, Atha, dan al-Auza’iy berpendapat bahwa yang boleh dilihat hanya wajah wanita, kedua telapak tangan, dan busana yang dipakainya. (hal. 175-176).
Namun dalam kapasitas sebagai ilmuwan di bidang tafsir, beliau hanya ingin mengatakan bahwa sepanjang yang dia ketahui, pemakaian jilbab adalah masalah khilafiah. Tidak semua ulama mewajibkan pemakaian jilbab.
Menanggapi ungkapan beliau itu, kita katakan memang benar bahwa ada khilafiyah di kalangan ulama. Namun oleh Quraisy, khilaf ini diperluas lagi sampai ke luar dari garis batasnya. Padahal para ulama justru tidak sampai ke sana.

Yang diperselisihkan oleh para ulama sebatas apakah cadar itu wajib atau tidak. Maksudnya, apakah wajah seorang wanita bagian dari aurat atau bukan. Juga apakah tapak kaki merupakan aurat atau bukan.
Namun semua ulama salaf dan khalaf sepakat bahwa kepala, termasuk rambut, telinga, leher, pundak, tengkuk, bahu dan seputarnya adalah aurat wanita yang haram terlihat.
Sayangnya oleh Quraisy diperluas lagi sampai beliau mengatakan bahwa kepala bukan aurat. Jadi wanita tidak memakai kerudung atau jilbab dianggapnya tidak berdosa. Sedangkan istilah jibab sendiri memang masih menjadi perselisihan di antara ulama. Ungkapan ini memang benar. Sebab ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa jilbab itu pakaian gamis panjang yang lebar, berwarna gelap dan menutupi seluruh tubuh wanita, tanpa kecuali. Wajah dan tangan pun tertutup.

Namun oleh sebagian ulama lain, yang dimaksud dengan jilbab adalah pakaian yang masih terlihat wajah dan kedua tapak tangan.
Di situlah titik perbedaan pengertian tentang jilbab. Seharusnya Dr. Quraish Shihab tidak kelewatan ketika mengatakan bahwa wanita tidak dilarang terbuka kepalanya, karena dianggap bukan aurat. Sebab tidak ada ulama salaf dan khalaf yang mengatakan demikian.

Asal Muasal Pemikiran
Dari manakah Dr. Quraisy Syihab mendapatkan pemikiran seperti ini?
Tentunya bukan dari para hali fiqih salaf semacam Asy-Syafi'i dan lainnya. Sebab para ulama fiqih di zaman salaf tidak ada yang berpendapat demikian. Pendapat seperti itu cukup aneh memang.
Di zaman sekarang ini, terutama setelah Mesir dijajah Perancis bertahun-tahun, banyak muncul para sekuleris dan liberalis. Dan kentara sekali bahwa Quraish banyak merujuk kepada pemikiran seorang pemikir liberal Mesir yaitu Muhammad Asymawi.Dalam buku-bukunya, pemikiran liberal inilah yang selalu diangkat oleh beliau. Dan pemikirannya lalu di-copy-paste begitu saja.

Mengapa hal seperti ini bisa terjadi?
Kalau kita melihat latar belakang pendidikan dan disiplin ilmunya, sebenarnya beliau bukan lulusan dari fakultas syariah. Jenjang S-1 dan S-2 beliau dari fakultas ushuluddin jurusan tafsir hadits. Jenjang S-3 beliau di bidang ilmu-ilmu Al-Quran. Meski banyak bicara tentang Al-Quran, namun spesialisasi beliau bukan ilmu fiqih. Bahkan buku tulisan beliau pun tidak ada yang khusus tentang fiqih. Buku yang beliau tulis antara lain Tafsir Al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya, Filsafat Hukum Islam, Mahkota Tuntunan Ilahi (Tafsir Surat Al-Fatihah) dan Membumikan Al-Qur'an danTafsir Al-Mishbah.
Padahal kajian tentang batasan aurat wanita itu seharusnya lahir dari profesor di bidang ilmu fiqih. Di dalam istimtabh hukum fiqih, sebenarnya ada terdapat ilmu hadits, ilmu ushul fiqih dan tentunya ilmu fiqih itu sendiri.
Barangkali hal ini salah satu sebab mengapa dalam tataran hukum fiqih, beliau agak gamang. Karena latar belakang pendidikan dan disiplin ilmu beliau memang bukan dalam kajian fiqih, tetapi tafsir.
Karena itu pandangan para ulama besar fiqih dari 4 mazhab pun luput dalam kajian beliau. Justru pemikiran liberalis malah lebih banyak muncul.
Kalau kita konfrontir dengan para profesor dan doktor ahli ilmu fiqih di negeri kita, misalnya Dr. Khuzaemah T. Yanggo yang sama-sama berasal dari Sulawesi dan lulusan fakultas Syariah Al-Azhar Mesir, maka pendapat seperti ini tidak benar. Menurut Dr. Khuzaemah, batas aurat wanita tetap seperti yang kita pahami selama ini, yaitu seluruh tubuh kecuali wajah dan kedua tapak tangan.
Demikian juga kalau kita lihat pendapat doktor syariah lainnya, seperti Dr. Anwar Ibrahim Nasution, atau Dr. Eli Maliki, yang kesemuanya lulusan fakultas Syariah Al-Azhar Mesir, maka pendapat Quraisy ini dianggap telah menyalahi syariat Islam yang sesungguhnya. Bagi para doktor syariah itu, batas aurat wanita telah disepakati oleh seluruh ulama syariah, yaitu seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua tapak tangan.
Apalagi kalau kita kaitkan dengan Syeikh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, yang tentunya jauh lebih senior lebih tinggi ilmunya dari Dr. Quraisy. Beliau telah menyatakan bahwa di kalangan ulama sudah ada kesepakatan tentang masalah ‘aurat wanita yang boleh ditampakkan’. Ketika membahas makna “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali apa yang biasa tampak daripadanya” (QS 24:31), para ulama sudah sepakat bahwa yang dimaksudkan itu adalah “muka” dan “telapak tangan”.
Dan kalau kita merujuk lebih jauh lagi, kepada ulama besar di masa lalu, katakanlah misalnya Al-Imam Nawawi, maka kita dapati dalam kitab al-Majmu’ syarah Al-Muhazzab, bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya.
Kita tetap hormat dan santun kepada pribadi Dr. Quraisy, namun khusus pendapatnya tentang tidak wajibnya wanita memakai penutup kepala dan batasan auratnya, kita tidak sepaham. Sebab pendapat beliau itu menyendiri, tidak dilandasi oleh hujjah yang qath'i, terlalu mengada-ada dan boros asumsi.
dijawab oleh ust.Ahmad Sarwat, Lc

2. Umar Shihab Tidak menyesatkan Syiah
Berikut beritanya:
(voa-islam.com) – Ada yang unik dalam pertemuan antara puluhan ulama Jawa Timur dengan pengurus MUI Pusat di Jakarta, Selasa (24/1/2012).

Dalam pertemuan di kantor MUI Pusat, Jalan Proklamasi Jakarta Pusat itu, salah seorang Ketua MUI, Prof Dr Umar Shihab mati kutu terdiam seribu bahasa. Padahal selama ini dia lantang berbicara mengatasnamakan MUI Pusat untuk membela Syi’ah.


Dalam forum resmi tersebut, Umar Shihab terdiam ketika dimarahi Habib Achmad  Zein  Alkaf yang mewakili para ulama Jawa Timur.

“Umar Shihab itu kan sebelumnya mengeluarkan fatwa bahwa Syi’ah tidak sesat, jadi saya marah kepada Umar Shihab,” papar Habib Zein kepada voa-islam.com, Jumat Sore.

Di hadapan puluhan ulama, Habib Zein yang dalam posisi berhadapan dengan Umar Shihab, menyatakan secara terang-terangan bahwa Umar Shihab itu jadi orang sesat kalau tidak mau mengakui kesesatan Syi’ah. “Saya menyesalkan ada pengurus MUI seperti Umar Shihab menyatakan Syi’ah tidak sesat. Maka saya katakan, kalau Umar Shihab mengatakan Syi’ah tidak sesat berarti Umar Shihab yang sesat, saya katakan langsung di depan dia, tidak peduli saya,” ujar A'wan   Syuriyah   Pimpinan Wilayah NU (PWNU)  Jatim itu dengan logat Jawa Timur.

Mendapat tantangan dari ulama daerah, rupanya Umar Shihab ciut nyali, hingga tak berani menjawab sepatah kata pun. “Saya tunggu jawaban Umar Shihab tapi dia tidak berani menjawab,” jelas Habib Zein.

Tidak hanya menantang Umar Shihab, Habib Zein juga berani menantang adu argumen secara ilmiah kepada siapapun yang tidak mengakui kesesatan Syi’ah. “Saya tantang kalau ada yang membela Syi’ah. Al-Bayyinat siap berhadapan dengan siapa saja yang membela Syi’ah. Kami siap, kami ini berbicara bertanggung jawab kepada Allah Ta’ala, jadi kalau kami berbicara bertanggung jawab kepada Allah, apa saja akan kami tempuh, termasuk mubahalah,” cetusnya.

Habib berani bertanding di forum ilmiah, karena dia sudah puluhan tahun meneliti Syi’ah. Bahkan belasan karya ilmiah tentang Syi’ah telah ditulisnya, di antaranya: Mengenal  Syi’ah, Export Revolusi Syiah Ke Indonesia, Dialog  Apa  Dan  Siapa  Syi’ah, Fatawa Para Imam Dan Ulama Tentang Syi’ah, Tragedi Karbala, Aqidah Ahlussunnah Adalah Aqidah Ahlul Bait, Asyura, Fathimah  At-Thohiroh RA, Al-Hasan dan Al-Husin RA, Imamah Dan Khilafah, Ummunaa Fathimah  RA   wa Ahlul Kisa, Ali bin Abi Thalib wa Ahlul Kisa', Al-Firqah An-Najiah, dan masih banyak lagi.

3.Nurcholish Madjid tentang Iblis
Pada ceramah yang diselenggarakan tanggal 23 Januari 1987, seorang peserta ceramah, Lukman Hakim, bertanya pada Nurcholis Madjid, Salahkah Iblis, karena menolak bersujud kepada Adam, ketika Allah menyuruhnya. Bukankah sujud hanya boleh kepada Allah?

Ketika itu, Nurcholish Madjid sudah menyandang gelar Doktor, menjawab dengan mengutip pendapat Ibnu Arabi: Iblis kelak akan masuk surga, bahkan di tempat yang tertinggi karena dia tidak mau sujud kecuali kepada Allah saja, dan inilah tauhid yang murni, jawab Nurcholish.

Pendapat Nurcholish Madjid di atas jelas menyesatkan, dan bertentangan dengan Al-Qur'an Surah Al Baqarah ayat 34: Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, Sujudlah kamu kepada Adam,maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.

Inti ajaran Ibnu Arabi didasarkan pada teori wihdatul wujud (menyatunya makhluk dengan Tuhan) yang menghasilkan wihdatul adyan (kesatuan agama, tauhid maupun syirik) sebagai sinkretisme dari teori-teori al-ittihad (manunggal, melebur jadi satu antara si orang sufi dan Tuhan) dengan mengadakan al-ittishal atau emanasi. Yang jelas, Ibnu Arabi banyak dipengaruhi oleh filsafat Masehi atau Nasrani.

Di sini kami tidak menghukumi secara keseluruhan dari perbuatan atau pun perkataan para tokoh di atas, Namun kami hanya mengkritik dari pernyataan yang kami kutip di sini. Karena banyaknya amalan para tokoh tersebut yang tidak kami ketahui yang mungkin sangat mulia di sisi Allah Azza Wa Jalla.

Semoga Bermanfaat
Wallahu Musta’an